Kuasa Hukum korban PT Indosterling Optima Investama (IOI), Andreas mengatakan bahwa kasus tersebut bukan perdata seperti yang dikatakan kuasa hukum PT Indosterling Optima Investama. Apalagi menurut dia karena berdasarkan surat laporan LP/B/0364/VIII/Bareskrim bahwa berkas saat ini sudah dilimpahkan ke Kejagung beserta tersangka. Menurut Andreas kalau kemudian dikatakan kasus ini adalah kasus perdata terkait utang piutang maka itu merupakan sebuah pernyataan yang salah besar dan mengada ada.
“Korban dan kuasa hukumnya berterima kasih kepada jajaran aparat penegak hukum yang telah memenuhi aspirasi para korban sehingga ada yang ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Andreas. Mengenai adanya anggapan hanya lima orang yang menuntut secara pidana maka hal itu kembali dibantah oleh kuasa hukum korban karena sampai saat ini masih tetap 56 korban tanpa satupun mencabut laporannya. Andreas juga ingin membuktikan bahwa kasus pidana ini akan dibuktikan di pengadilan karena pidana tidak menggugurkan PKPU.
“Dari awal dasar kami melihat ini pidana dikarenakan adanya peraturan dari Bank Indonesia maupun peraturan Gubernur BI pada tahun 2017 dan 2018 yang menyatakan PN masuk dalam surat berharga komersial dan wajib mendapat izin dari BI,” tegas Pengacara sejumlah nasabah IOI, Andreas kepada pers, Kamis (10/6/2021). “Selain itu adanya yurisprudensi tahun 2013 mengenai promissory notes yang dipersamakan dengan simpanan bank dan harus mendapat ijin Bank Indonesia,” sambungnya. Sebelumnya diberitakan Kompas.com, Kuasa Hukum IOI Hardodi menjelaskan dalam sistem hukum perdata pihak kreditur memiliki hak untuk mengajukan pembatalan perdamaian apabila debitur telah lalai melaksanakan isi perdamaian.
Hal ini diatur dalam Pasal 291 Juncto Pasal 170 Undang undang Nomor 37 Tahun 2004. “Boleh saja menempuh jalur pidana kalau IOI dianggap telah lalai menjalankan kewajibanya sesuai putusan PKPU. Tapi faktanya sejauh ini lancar lancar saja,” ucapnya. “Bahkan sebagai itikad baik klien kami melakukan percepatan pembayaran. Perlu diketahui, saya sering ditanya sebagian besar kreditur, apakah uang kami bisa kembali kalau jalur pidana terus berjalan, saya jawab tidak ada jaminan bisa kembali,” lanjut dia.
Dengan adanya sikap yang sudah disampaikan kreditur, Hardodi meminta agar pihak penyidik Mabes Polri menghentikan kasus ini. “Penyidik polisi harusnya mementingkan hak dari para kreditur,” ujarnya. Beberapa waktu lalu ratusan kreditur produk High Yield Promissory Notes (HYPN) PT IndoSterling Optima Investa (IOI) menyampaikan sikap protes kepada Mabes Polri atas penolakan gugatan pidana terhadap manajemen IOI terkait Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Aksi protes mereka lakukan dengan cara mengirimkan karangan bunga yang ditaruh di depan Kantor Mabes Polri Jakarta, pada Kamis (6/5/2021) siang. Padahal, sejauh ini menurut mereka pihak IOI sudah menunaikan pembayaran tahap keenam atas proses restrukturisasi produk HYPN. Pembayaran tahap keenam itu dilakukan pada 3 Mei 2021. Pembayaran tahap keenam itu diberikan kepada 1.102 kreditur.
“Kami selalu berkomitmen sejak awal bahwa IOI akan berusaha menjadikan kepentingan kreditur sebagai prioritas utama,” kata Communication Director IndoSterling Group Deasy Sutedja melalui keterangan tertulisnya. Sejumlah kreditur IOI pun turut bersuara terkait berlanjutnya kasus PKPU IOI ke ranah pidana. Diketahui, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan Direktur Utama PT Indosterling Optima Investa (IOI), Sean William Henley sebagai tersangka.
Penetapan tersangka ini diduga karena buntut dari kasus gagal bayar atas produk High Yield Promissory Notes (HYPN). Kuasa hukum William Henley, Hardodi dari HD Law Firm saat itu membenarkan kliennya ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri Cq Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus pada 30 September 2020 lalu. Informasi ini juga disampaikan di keterbukaan informasi dengan Nomor: S 06953/BEI.PP1/11 2020. Hal ini mengingat, William Henley adalah Komisaris dari PT Indosterling Technomedia Tbk (TECH), anak usaha dari PT Indosterling Sarana Investa.